SEPENGGAL
(SEPANJANG) SEJARAH GALUH: PARA PENGUASA GALUH
(Yulia
Sofiani)
Boleh tunjuk tangan bagi
orang Ciamis yang mengetahui sejarah Galuh secara menyeluruh, juga buat yang
mengetahuinya episode per episode, atau juga bagi yang paham secara teoritis
mengenainya. Jago we mun loba,
mungkin itu bahasa lomanya untuk
tawaran tadi. Termasuk saya yang ibu-bapak-nini-aki-uyut-bao-dan seterusnya
berasal dari Ciamis, sayapun remeng-remeng
alias tidak tahu banyak. Menurut para ahli (sejarah tentunya), sumber mengenai
Galuh (sebagai pusat kekuasaan) relatif sedikit, sedangkan rentang waktunya
relatif panjang, belum lagi oral history
berkenaan dengannya relatif banyak, lengkaplah sudah sulitnya menuturkan secara
kronologis dan komprehensif mengenai sejarah Galuh. Bagi saya, penelusuran jejak nama
Galuh lebih sering terbentur kepada mitos. Berbagai mitos tentang asal-usul
Galuh dapat dibaca dalam beberapa naskah kuno yang berbentuk babad atau wawacan.
Secara umum, naskah-naskah kuno itu merupakan historiografi tradisional yang
mengandung unsur-unsur historis, mitos, legenda, dan dongeng. Semakin mendekati
waktu penulisan dengan waktu terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya
sebagai sumber sejarah. Keterangan mengenai Galuh di antaranya dapat dibaca
dalam naskah Carita Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesyan,
Wawacan Sajarah Galuh, Ciung Wanara, dan Carios Wiwitan
Raja-Raja di Pulo Jawa.
Dan kalau boleh saya
menambahkan, penyebab lainnya adalah kurangnya dukungan dari pemerintah
kabupaten Ciamis dalam upaya mewariskan “cerita sejarah” dari generasi ke
generasi. Jangan lupa, faktor kekuasaan menjadi penting dalam proses ini karena
akan menjadi pelindung bagi live of
history. Jangan sampai ungkapan “yang lalu biarlah berlalu, jangan diungkit
kembali” diberlakukan secara paten terhadap sejarah karena justru dari
sejarahlah kita bisa belajar karena sejarah itu adalah jembatan yang
menyambungkan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bagaimana kita
bangga menjadi manusia jika kita tidak mau mempelajari sejarah penciptaan
manusia? Bagaimana kita bangga terhadap Ciamis jika kita tidak mengetahui
sejarah Galuh? Tidak mungkin pemerintah kabupaten Ciamis menggunakan semboyan “CIAMIS MANIS MANJING DINAMIS PAKENA GAWE
RAHAYU PAKEUN HEUBEUL JAYA DI BUANA” secara ujug-ujug begitu saja. Dari mana asalnya pakena gawe rahayu pakeun heubeul di buana? Ya dari sejarah Galuh! Moal ujug-ujug aya mun teu aya sajarahna,
betul atau betul?
Sasieureun sabeunyeureun,
semoga ada manfaatnya. Itulah yang ingin saya sampaikan sebelum bercerita
sedikit tentang sejarah Galuh dengan folus para penguasanya. Bukan berarti sim kuring langkung apal tibatan nu apal,
ieu mah mung sekedar berbagi
pengetahuan saya yang sedikit tentang sejarah Galuh. Sepanjang yang saya
ketahui mengenai sejarah Galuh, ada berbagai pemahaman makna atas kata Galuh.
Kata Galuh bisa kita temukan tidak hanya berkaitan dengan Ciamis saja, tetapi
ada banyak Galuh yang berkaitan dengan segala hal. Berkaitan dengan tempat
contohnya, Hujung Galuh di Jawa Timur. Bagelen di Purworejo atau Begaluh di
Banyumas. Adakah kaitannya galuh-galuh tersebut dengan Galuh baheula Ciamis
kiwari? Kita bicarakan belakangan, sekarang mari kita kembali kepada Galuh
dalam perspektif sebuah kekuasaan.
Nama Galuh muncul pada abad VII
sebagai nama sebuah kerajaan di ujung timur Priangan, tepatnya di wilayah
Bojong Galuh. Wilayah itu berada di tepat di daerah pertemuan dua buah sungai, yaitu
sungai Citanduy dan Cimuntur. Bojong Galuh (sekarang Karangkamulyan) adalah
pusat kekuasaan kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Ciung Wanara, leluhur
penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar Rahiang Sanjaya.[1] Ia
adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang bernama Purbasora. Sanjaya
berhasil merebut tahta Galuh dari Purbasora. Ia menikah dengan putri kerajaan
Sunda yang berpusat di Pakwan Pajajaran, sehingga berhak atas tahta kerajaan Sunda.
Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh dengan pusat pemerintahan di Bojong Galuh. Sanjaya memutuskan
bertahta di Jawa Tengah, sehingga ia menyerahkan Galuh kepada keponakannya (Seuweu Karma),
sedangkan Sunda diberikan kepada putranya (Rahiang Tamperan). Nama Galuh
tenggelam hingga akhirnya muncul kembali pada abad XIII sebagai nama sebuah
kerajaan yang berpusat di Kawali. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa
tokoh Raja Wastu sama dengan Niskala Wastu Kancana, yaitu putra raja Galuh yang
memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana adalah Prabu Maharaja (1350-1357)
yang identik dengan Pasundan Bubat. Selain dalam Carita Parahyangan,
keterangan mengenai Pasundan Bubat terdapat juga dalam kitab Pararaton
dari Majapahit. Pararaton menyebutkan bahwa di sebelah barat Majapahit
terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya bernama Prabu
Maharaja.[2]
Hubungan Galuh dengan Majapahit
terjadi karena adanya pinangan raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk kepada
putri Prabu Maharaja yang bernama Citra Kirana Diah Pitaloka. Rencana
pernikahan itu gagal karena patih Majapahit yang bernama Gajah Mada
mensyaratkan bahwa pernikahan itu adalah tanda tunduknya Galuh kepada
Majapahit. Prabu Maharaja menolak, ia lebih memilih perang dengan Majapahit
dari pada menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua kerajaan
terjadi di daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan nyaris seluruh
prajurit Galuh.[3]
Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan putra bungsu raja yang
bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil kembali ke Kawali.
Periode keemasan kerajaan Galuh
dicapai pada masa pemerintahan putra Prabu Maharaja yang bernama Niskala Wastu
Kancana (1371-1475). Abad XIV, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan
Pajajaran oleh cucunya yang bergelar Sri Baduga Maharaja Dewata Prana. Ia
menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas tahta
kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan Galuh ke dalam kerajaan Sunda dan
memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran. Peristiwa itu sekaligus
mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali.
Penguasa-penguasa Kabupaten Galuh
Nama
Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah kerajaan mandiri yang
berpusat di Panaekan. Bersama dengan Sumedang Larang, Galuh menjadi penerus
kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten. Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin
oleh Sanghiang Cipta Permana, Mataram Islam berhasil menanamkan pengaruh
politiknya di Galuh. Pengganti Panembahan Senapati yang bernama Sultan Agung
mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar Adipati Panaekan
(1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.[4]
Langkah awal Adipati Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari
Panaekan ke Gara Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang
bernama Adipati Kertabumi.[5]
Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi rencana penyerangan
terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panekan berpendapat lebih baik menyerang
Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC tidak semakin berkembang. Singaperbangsa
I sependapat dengan Rangga Gempol I, yaitu menginginkan Galuh memperkuat
pasukannya dahulu sebelum menyerang Batavia. Adipati Panaekan dituduh membantu
Adipati Ukur yang memberontak kepada Mataram karena ingin melepaskan Priangan
dari kekuasaan raja Jawa.
Pengganti
Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati Imbanagara (1625-1636).
Sama seperti ayahnya, ia mati dibunuh oleh prajurit Mataram pada tahun 1636.[6]
Kematiannya mengakibatkan terjadinya kekosongan kepala pemerintahan kabupaten
Galuh yang kemudian dimanfaatkan oleh patih Wiranangga untuk mengangkat dirinya
sebagai bupati Galuh. Ia berbuat curang dengan cara mengganti nama calon bupati
yang ditunjuk penguasa Mataram dengan namanya. Piagam pengangkatan itu
disembunyikan Wiranangga di kolong rumahnya. Pengasuh putra Adipati Imbanagara
berhasil menemukannya lalu melaporkan kepada prajurit Mataram. Sebagai hukuman
atas kecurangannya, Wiranangga dihukum mati oleh raja Mataram.
Pengganti
Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati Panji Aria Jayanagara
(1636-1642).[7]
Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5 Rabi’ul Awal tahun Je yang
bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja Mataram, ia mengganti nama
kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh Imbanagara. Jayanagara memindahkan
pusat pemerintahan kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay.[8]
Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai kebijakan reorganisasi Priangan oleh
raja Mataram. Tahun 1641 Mataram membentuk kabupaten-kabupaten baru di sekitar
Galuh, yaitu Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas.
Reorganisasi
Priangan terulang kembali pada tahun 1645, yaitu ketika Amangkurat I berkuasa
di Mataram. Tetapi pada reorganisasi wilayah kali itu, luas wilayah kabupaten
Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada VOC pun relatif tetap.
Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri dari kabupaten Limbangan,
Sukapura, Galuh, dan Cirebon kepada VOC melalui perjanjian 19-20 Oktober 1677.
Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A.
Angganaya (1678-1693).[9]
VOC menetapkan jumlah cacah untuk kabupaten Galuh sebanyak 708 jiwa,
Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan 10
desa. Beralihnya kekuasaan dari Mataram kepada VOC telah memberikan keuntungan,
yaitu semakin teraturnya sistem pemerintahan kabupaten.[10]
Bupati
Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata
(1693-1706).[11]
Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel
sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai sistem pemerintahan di
seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui
sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram
melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC
membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.
Pengganti
Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-1727).[12]
Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran
Aria dari Cirebon sebagai opziener.[13]
Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan
dengan Galuh, yaitu mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen
karena dianggap sebagai menak tertua dan pandai. Ia juga melebur
kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.
Pengganti
Kusumadinata I adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata II (1727-1751).[14]
Ia menjabat bupati dalam waktu yang singkat karena meninggal dalam usia muda.
Ia belum berkeluarga, sehingga jabatan bupati diwariskan kepada keponakannya
yang kelak bergelar R.A. Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat salah satu adik
Kusumadinata II, yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh
karena itu VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak perempuan Kusumadinta
II.
Pemerintahan
Galuh dijalankan sementara oleh 3 orang wali Kusumadinata III yang dipimpin
oleh R.T. Jagabaya. Pada masa pemerintahannya, terjadi kericuhan besar di
daerah Ciancang yang menyebabkan daerah itu porak-poranda.[15]
Peristiwa itu dipimpin oleh Tumenggung Banyumas dan dibantu oleh Ngabehi Dayeuh
Luhur. VOC menggabungkan Ciancang ke dalam wilayah Imbanagara dan menyerahkan
pengawasannya kepada Jagabaya. Pemerintahan Galuh diserahkan kepada Kusumadinta
III (1751-1801) setelah dewasa.[16]
Ia berhasil memulihkan kondisi Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah
Imbanagara.[17]
Selain berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun, Kusumadinta III
berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh.[18]
Pengganti
Kusumadinata III adalah putranya yang bergelar R.A. Natadikusuma (1801-1806).[19]
Natadikusuma menjabat bupati Galuh dalam waktu yang relatif singkat. Ia
dianggap menghina pejabat Belanda yang bernama Van Bast, sehingga dipecat dari
jabatan bupati.[20]
Akibat perbuatannya itu, ia ditahan untuk beberapa waktu di Cirebon tetapi
kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Imbanagara. Jabatan bupati Galuh tidak
diwariskan kepada putra Natadikusuma, tetapi diserahkan kepada bupati penyelang
dari Limbangan, yaitu R.T. Surapraja (1806-1811).[21]
Akibat
perbuatan Natadikusuma, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengurangi wilayah
kekuasaan Galuh. Banyumas dan Dayeuh Luhur dikeluarkan dari wilayah Galuh.
Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang digabungkan ke dalam wilayah kabupaten
Sukapura, sedangkan Utama dan Cibatu digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.[22]
Bupati Cibatu yang bernama R.T. Jayengpati Kartanagara (1811-1812) diangkat
menjadi bupati Galuh, ia dibebankan kewajiban membayar utang kabupaten Galuh
sebanyak 23.000 Rds.[23]
Jayengpati
memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Imbanagara ke Cibatu. Ia tidak lama
menjabat karena pemerintah kolonial menggantinya dengan R.T. Natanagara (1812)
dari Cirebon. Natanagara mengusulkan kepada pemerintah kolonial untuk
memindahkan pusat pemerintahan ke Randengan, tetapi usul itu ditolak.
Natanagara dipecat karena dianggap tidak mampu mengatasi pemberontakan yang
terjadi di Nusa Kambangan. Penggantinya adalah P. Sutawijaya (1812-1815) dari
Cirebon.
Sutawijaya
didampingi oleh tiga orang patih, yaitu Wiradikusuma, Wiratmaka, dan
Jayadikusuma. Pada masa pemerintahannya, daerah Dayeuh Luhur, Madura, dan Nusa
Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten Banyumas. Imbanagara diserahkan kepada
patih Wiradikusuma, Cibatu kepada Jayakusuma, sedangkan Utama kepada Wiratmaka.
Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan dari Cibatu ke Burung Diuk untuk
memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh Anyar yang dipersiapkan sebagai ibu
kota kabupaten yang baru.[24]
Patih
Galuh yang bernama Wiradikusuma (1815-1819) diangkat sebagai bupati Galuh
menggantikan Sutawijaya yang kembali ke Cirebon.[25]
Meskipun sudah lanjut usia, pemerintah kolonial mempercayainya untuk memimpin
kabupaten Galuh. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Galuh
dipindahkan dari Cibatu ke Ciamis.[26]
Ia mengajukan pensiun kepada pemerintah kolonial yang disetujui pada tahun
1819. Penggantinya adalah putranya yang bergelar R.A. Adikusuma (1819-1939).[27]
Pada masa pemerintahannya, kabupaten Kawali dan Panjalu digabungkan ke dalam
kabupaten Galuh. Untuk selanjutnya kabupaten Galuh dibagi menjadi 4 distrik,
yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.[28]
Pada masa pemerintahan Adikusuma, pemerintah kolonial menggulirkan Sistem Tanam
Paksa atau Cultuurstelsel. Komoditas tanaman perdagangan yang dikenai tanam
wajib di Galuh adalah kopi, beras, tebu, dan tarum.
Pengganti
Adikusuma adalah putranya yang bergelar R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886).[29]
Galuh mengalami perkembangan relatif signifikan di bawah kepemimpinannya,
terutama di bidang pendidikan dan pembangunan fisik. Kusumadiningrat
memprakarsai pembangunan beberapa saluran irigasi yang sangat berguna bagi
pertanian rakyat, yaitu bendungan Nagawangi, Wangundireja, Cikatomas, dan
Nagawiru. Ia juga memprakarsai pembangunan 3 buah pabrik minyak kelapa dan sebuah
pabrik penggilingan kopi.[30]
Ia juga membangun masjid agung Galuh dan gedung-gedung perkantoran di daerah
Ciamis. Selain itu, ia juga berhasil meyakinkan pemerintah kolonial untuk
mengalihkan jalur kereta api melewati daerah kota Ciamis. Jalur kereta itu
terpaksa dibangun di atas jembatan Cirahong agar bisa dialihkan ke kota Ciamis.
Pengganti
Kusumadiningrat adalah putranya yang bernama R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914).
Sejak kecil ia sudah dibimbing dan persiapkan oleh ayahnya untuk menjadi
penggantinya. Salah satu bentuknya adalah memasukkan Kusumasubrata (juga saudara-saudaranya) ke sekolah formal selain
pesantren.[31]
Awalnya Kusumasubrata disekolahkan di Sakola Kabupaten Sumedang yang
memiliki guru bahasa Belanda bernama Warnaar.[32]
Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena sakit, lalu dibawa pulang ke Galuh dan
di sekolahkan di Sakola Kabupaten Galuh. Kusumasubrata melanjutkan
sekolahnya, ia didaftarkan ke Kweekschool di Bandung, tetapi tidak
diterima.[33]
Akhirnya ia sekolah di Hoofdenschool yang baru saja dibuka di Bandung.[34]
Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia magang di kabupaten Galuh sebagai
juru tulis kabupaten.[35]
Keturunan
Kusumasubrata tidak ada yang menjadi bupati Galuh. Meskipun dekat dengan para
pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka memihak kepada Belanda. Tidak hanya
kepada pejabat Belanda saja mereka memberontak, kepada para ayah angkatnya yang
berkebangsaan Belanda pun mereka cenderung memberontak. Putra Kusumasubrata
yang bernama R. Otto Gurnita Kusumasubrata menjadi salah satu pendiri Negara
Pasundan yang menentang Belanda.
Bupati
Galuh berikutnya adalah R.A.A. Sastrawinata (1914-1936). Ia mengganti nama
kabupaten Galuh menjadi kabupaten Ciamis pada tahun 1916. Tahun 1926
bersama-sama dengan kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Ciamis dimasukkan ke dalam
afdeeling Priangan Timur. Sastrawinata mendapat Bintang Willems Orde
karena berhasil menumpas pemberontakan komunis yang dipimpin oleh Egom, Hasan,
dan Dirja yang meletus di Ciamis. Ia juga mendapatkan penghargaan Bintang
Tanjung dan stempel singa dari pemerintah kolonial atas jasanya membuka
rawa-rawa di daerah Cisaga untuk dijadikan area pesawahan.
[1] Nama Sanjaya
diidentikan dengan nama penguasa yang disebutkan dalam Prasasti Canggal (723).
Keterangan prasasti Canggal saling melengkapi dan menunjang dengan Carita
Parahyangan.
[2] Pararaton
menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, sedangkan Carita
Parahyangan menyebutkan bahwa Prabu Maharaja memerintah Galuh hanya 7 tahun
sejak 1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan bahwa Prabu
Maharaja yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman dengan Hayam Wuruk
dari Majapahit.
[3] Konon Gajah Mada
mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah Bubat sebelum
melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat yang
diajukan oleh Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan
apapun. Prabu Maharaja memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan
Gajah Mada yang akhirnya menjadi peperangan. Raja dan keluarganya, para
pengiring, dan pasukan Galuh gugur dalam pertempuran itu. Calon pengantin putri
memutuskan bunuh diri dari pada harus menikah dengan Hayam Wuruk yang dianggap
sebagai penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.
[4] Penguasa Galuh
sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat
sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan
anugerah 960 cacah. Tidak berlebihan jika Adipati Panaekan disebut
sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester Ommelanden van Mataram.
Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68.
[5] Adipati Kertabumi adalah
penguasa kabupaten Bojong Lopang yang dibentuk oleh Mataram tahun 1641 sebagai
kelanjutan dari penanganan pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi
Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung
menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga daerah yang paling dekat dengan
Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai bupatinya. Salah satu
keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi bupati
Galuh menggantikan Kusumasubrata.
[6] Berdasarkan
keterangan tradisi lisan Galuh, kematian Adipati Imbanagara disebabkan oleh
kemarahan Sultan Agung yang mendapat kabar bahwa Adipati Imbanagara telah
menodai wanita Galuh yang diminta oleh Sultan Agung.
[7] Namanya adalah
Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar Raden Panji Aria
dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan
raja Mataram.
[8] Barunay berada
sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama Barunay diganti
menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan
pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau
bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi
kabupaten Ciamis.
[9] Angganaya adalah
putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena kakaknya yang
bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan bupati
yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya
memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R.
Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.
[10] Selain bupati, ada
beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu, dan kepala cutak.
Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC melalui
pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).
[11] Nama kecilnya
adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil
penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang
ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul).
Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul
kapas.
[12] Kusumadinata I
memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang istri, ia
memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R.
Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.
[13] Kabupaten Karawang
dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten itu
dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam
pengawasan langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm.
87.
[14] Kusumadinata II
memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan sebutan Dalem Kasep
yang artinya bupati tampan.
[15] Nama Ciancang
diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda kericuhan (nista
maja utama).
[16] Nama kecil
Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk sebagai
calon pengganti Kusumadinata II.
[17] Berkat keberhasilan
Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC menganugerahkan baju
kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.
[18] Ia bersahabat
dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru agamanya adalah Kyai
Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.
[19] Natadikusuma
memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati yang sangat dekat
dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam menghadapi para
pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya yang sering
menentang kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak
segan-segan melawan pejabat Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak
heran jika pemerintah kolonial mengawasinya secara ketat karena tingkah lakunya
lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia memiliki 22 orang
anak dari 8 orang istri.
[20] Edi S. Ekajati, op.cit,
hlm. 81.
[22] Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama
kabupaten mengganti Galuh Imbanagara.
[23] Natadikusuma
dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia berhutang kepada
pemerintah kolonial sebesar 200.000 real
yang harus ditanggung oleh bupati berikutnya.
[24] Dayeuh Anyar
berarti kota baru, kelak dinamai Ciamis setelah pusat pemerintahan pindah ke kota
itu. Nama Ciamis dianggap sebagai penghinaan Sutawijaya kepada Galuh. Dalam
bahasa Cirebon, Ciamis artinya air anyir, sedangkan dalam bahasa Sunda Ciamis
artinya adalah air manis. Kota Ciamis hingga sekarang tetap menjadi ibu kota
kabupaten Ciamis.
[25] Wiradikusuma
mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial setelah menjabat
bupati Galuh.
[26] Kabupaten Galuh resmi
menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon berdasarkan Besluit no. 23/ 5
Januari 1819.
[27] Pada tahun 1820,
Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah kolonial sebesar f. 500
dan bengkok seluas 100 bau.
[28] Kabupaten Galuh
dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Kepel
(diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa, yang kelak
bertambah menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.
[29] Kusumadiningrat
yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar minatnya dalam
kesenian. Beberapa kesenian rakyat seperti angklung, reog, ronggeng,
calung, terbang, rudat, wayang, penca, dan
berbagai macam ibing (tarian) berkembang pesat pada masa
pemerintahannya. Ia bahkan menciptakan ibing baksa, yaitu ibing nyoderan
atau tarian pembuka pada ibing tayub.
[30] Salah satunya
adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan pabrik
penggilingan kopi didirikan di Kawali.
[31] Semua putra
Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang di Sakola
Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.
[32] R.A.A.
Koesoemasubrata, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek, (Bandung:
Mijvorking, 1926), hlm.102.
[33] Tidak ada
keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di sekolah itu.
[34] Sikap
Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan menyikapi
perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya
harus ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.
[35] Para magang
harus mempelajari etiket dan gaya hidup menak serta menghayati metode.
Mereka tinggal dalam lingkungan keluarga menak dan mengerjakan apa saja
tanpa bayaran.
Wah, tulisan yang menggugah rasa :D
BalasHapusCiamis Manjing Dinamis
BalasHapus