Senin, 08 Oktober 2012

Tentang Galuh: #1 skrip


SEPENGGAL (SEPANJANG) SEJARAH GALUH: PARA PENGUASA GALUH
(Yulia Sofiani)


Boleh tunjuk tangan bagi orang Ciamis yang mengetahui sejarah Galuh secara menyeluruh, juga buat yang mengetahuinya episode per episode, atau juga bagi yang paham secara teoritis mengenainya. Jago we mun loba, mungkin itu bahasa lomanya untuk tawaran tadi. Termasuk saya yang ibu-bapak-nini-aki-uyut-bao-dan seterusnya berasal dari Ciamis, sayapun remeng-remeng alias tidak tahu banyak. Menurut para ahli (sejarah tentunya), sumber mengenai Galuh (sebagai pusat kekuasaan) relatif sedikit, sedangkan rentang waktunya relatif panjang, belum lagi oral history berkenaan dengannya relatif banyak, lengkaplah sudah sulitnya menuturkan secara kronologis dan komprehensif mengenai sejarah Galuh. Bagi saya, penelusuran jejak nama Galuh lebih sering terbentur kepada mitos. Berbagai mitos tentang asal-usul Galuh dapat dibaca dalam beberapa naskah kuno yang berbentuk babad atau wawacan. Secara umum, naskah-naskah kuno itu merupakan historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur historis, mitos, legenda, dan dongeng. Semakin mendekati waktu penulisan dengan waktu terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya sebagai sumber sejarah. Keterangan mengenai Galuh di antaranya dapat dibaca dalam naskah Carita Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, Wawacan Sajarah Galuh, Ciung Wanara, dan Carios Wiwitan Raja-Raja di Pulo Jawa.
Dan kalau boleh saya menambahkan, penyebab lainnya adalah kurangnya dukungan dari pemerintah kabupaten Ciamis dalam upaya mewariskan “cerita sejarah” dari generasi ke generasi. Jangan lupa, faktor kekuasaan menjadi penting dalam proses ini karena akan menjadi pelindung bagi live of history. Jangan sampai ungkapan “yang lalu biarlah berlalu, jangan diungkit kembali” diberlakukan secara paten terhadap sejarah karena justru dari sejarahlah kita bisa belajar karena sejarah itu adalah jembatan yang menyambungkan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bagaimana kita bangga menjadi manusia jika kita tidak mau mempelajari sejarah penciptaan manusia? Bagaimana kita bangga terhadap Ciamis jika kita tidak mengetahui sejarah Galuh? Tidak mungkin pemerintah kabupaten Ciamis menggunakan semboyan “CIAMIS MANIS MANJING DINAMIS PAKENA GAWE RAHAYU PAKEUN HEUBEUL JAYA DI BUANA” secara ujug-ujug begitu saja. Dari mana asalnya pakena gawe rahayu pakeun heubeul di buana? Ya dari sejarah Galuh! Moal ujug-ujug aya mun teu aya sajarahna, betul atau betul?
Sasieureun sabeunyeureun, semoga ada manfaatnya. Itulah yang ingin saya sampaikan sebelum bercerita sedikit tentang sejarah Galuh dengan folus para penguasanya. Bukan berarti sim kuring langkung apal tibatan nu apal, ieu mah mung sekedar berbagi pengetahuan saya yang sedikit tentang sejarah Galuh. Sepanjang yang saya ketahui mengenai sejarah Galuh, ada berbagai pemahaman makna atas kata Galuh. Kata Galuh bisa kita temukan tidak hanya berkaitan dengan Ciamis saja, tetapi ada banyak Galuh yang berkaitan dengan segala hal. Berkaitan dengan tempat contohnya, Hujung Galuh di Jawa Timur. Bagelen di Purworejo atau Begaluh di Banyumas. Adakah kaitannya galuh-galuh tersebut dengan Galuh baheula Ciamis kiwari? Kita bicarakan belakangan, sekarang mari kita kembali kepada Galuh dalam perspektif sebuah kekuasaan.
Nama Galuh muncul pada abad VII sebagai nama sebuah kerajaan di ujung timur Priangan, tepatnya di wilayah Bojong Galuh. Wilayah itu berada di tepat di daerah pertemuan dua buah sungai, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur. Bojong Galuh (sekarang Karangkamulyan) adalah pusat kekuasaan kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Ciung Wanara, leluhur penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar Rahiang Sanjaya.[1] Ia adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang bernama Purbasora. Sanjaya berhasil merebut tahta Galuh dari Purbasora. Ia menikah dengan putri kerajaan Sunda yang berpusat di Pakwan Pajajaran, sehingga berhak atas tahta kerajaan Sunda. Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh dengan pusat pemerintahan di Bojong Galuh. Sanjaya memutuskan bertahta di Jawa Tengah, sehingga ia menyerahkan Galuh kepada keponakannya (Seuweu Karma), sedangkan Sunda diberikan kepada putranya (Rahiang Tamperan). Nama Galuh tenggelam hingga akhirnya muncul kembali pada abad XIII sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di Kawali. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa tokoh Raja Wastu sama dengan Niskala Wastu Kancana, yaitu putra raja Galuh yang memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana adalah Prabu Maharaja (1350-1357) yang identik dengan Pasundan Bubat. Selain dalam Carita Parahyangan, keterangan mengenai Pasundan Bubat terdapat juga dalam kitab Pararaton dari Majapahit. Pararaton menyebutkan bahwa di sebelah barat Majapahit terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya bernama Prabu Maharaja.[2]
Hubungan Galuh dengan Majapahit terjadi karena adanya pinangan raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk kepada putri Prabu Maharaja yang bernama Citra Kirana Diah Pitaloka. Rencana pernikahan itu gagal karena patih Majapahit yang bernama Gajah Mada mensyaratkan bahwa pernikahan itu adalah tanda tunduknya Galuh kepada Majapahit. Prabu Maharaja menolak, ia lebih memilih perang dengan Majapahit dari pada menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua kerajaan terjadi di daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan nyaris seluruh prajurit Galuh.[3] Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan putra bungsu raja yang bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil kembali ke Kawali.
Periode keemasan kerajaan Galuh dicapai pada masa pemerintahan putra Prabu Maharaja yang bernama Niskala Wastu Kancana (1371-1475). Abad XIV, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran oleh cucunya yang bergelar Sri Baduga Maharaja Dewata Prana. Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas tahta kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan Galuh ke dalam kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran. Peristiwa itu sekaligus mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali.

Penguasa-penguasa Kabupaten Galuh
Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah kerajaan mandiri yang berpusat di Panaekan. Bersama dengan Sumedang Larang, Galuh menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten. Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana, Mataram Islam berhasil menanamkan pengaruh politiknya di Galuh. Pengganti Panembahan Senapati yang bernama Sultan Agung mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.[4] Langkah awal Adipati Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Panaekan ke Gara Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati Kertabumi.[5] Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi rencana penyerangan terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panekan berpendapat lebih baik menyerang Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC tidak semakin berkembang. Singaperbangsa I sependapat dengan Rangga Gempol I, yaitu menginginkan Galuh memperkuat pasukannya dahulu sebelum menyerang Batavia. Adipati Panaekan dituduh membantu Adipati Ukur yang memberontak kepada Mataram karena ingin melepaskan Priangan dari kekuasaan raja Jawa.
Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati Imbanagara (1625-1636). Sama seperti ayahnya, ia mati dibunuh oleh prajurit Mataram pada tahun 1636.[6] Kematiannya mengakibatkan terjadinya kekosongan kepala pemerintahan kabupaten Galuh yang kemudian dimanfaatkan oleh patih Wiranangga untuk mengangkat dirinya sebagai bupati Galuh. Ia berbuat curang dengan cara mengganti nama calon bupati yang ditunjuk penguasa Mataram dengan namanya. Piagam pengangkatan itu disembunyikan Wiranangga di kolong rumahnya. Pengasuh putra Adipati Imbanagara berhasil menemukannya lalu melaporkan kepada prajurit Mataram. Sebagai hukuman atas kecurangannya, Wiranangga dihukum mati oleh raja Mataram.
Pengganti Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati Panji Aria Jayanagara (1636-1642).[7] Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5 Rabi’ul Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja Mataram, ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh Imbanagara. Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay.[8] Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai kebijakan reorganisasi Priangan oleh raja Mataram. Tahun 1641 Mataram membentuk kabupaten-kabupaten baru di sekitar Galuh, yaitu Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas.
Reorganisasi Priangan terulang kembali pada tahun 1645, yaitu ketika Amangkurat I berkuasa di Mataram. Tetapi pada reorganisasi wilayah kali itu, luas wilayah kabupaten Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada VOC pun relatif tetap. Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri dari kabupaten Limbangan, Sukapura, Galuh, dan Cirebon kepada VOC melalui perjanjian 19-20 Oktober 1677. Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).[9] VOC menetapkan jumlah cacah untuk kabupaten Galuh sebanyak 708 jiwa, Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan 10 desa. Beralihnya kekuasaan dari Mataram kepada VOC telah memberikan keuntungan, yaitu semakin teraturnya sistem pemerintahan kabupaten.[10]
Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata (1693-1706).[11] Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III. 
Pengganti Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-1727).[12] Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai opziener.[13] Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan  dengan Galuh, yaitu mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen karena dianggap sebagai menak tertua dan pandai. Ia juga melebur kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.
Pengganti Kusumadinata I adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata II (1727-1751).[14] Ia menjabat bupati dalam waktu yang singkat karena meninggal dalam usia muda. Ia belum berkeluarga, sehingga jabatan bupati diwariskan kepada keponakannya yang kelak bergelar R.A. Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat salah satu adik Kusumadinata II, yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh karena itu VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak perempuan Kusumadinta II.
Pemerintahan Galuh dijalankan sementara oleh 3 orang wali Kusumadinata III yang dipimpin oleh R.T. Jagabaya. Pada masa pemerintahannya, terjadi kericuhan besar di daerah Ciancang yang menyebabkan daerah itu porak-poranda.[15] Peristiwa itu dipimpin oleh Tumenggung Banyumas dan dibantu oleh Ngabehi Dayeuh Luhur. VOC menggabungkan Ciancang ke dalam wilayah Imbanagara dan menyerahkan pengawasannya kepada Jagabaya. Pemerintahan Galuh diserahkan kepada Kusumadinta III (1751-1801) setelah dewasa.[16] Ia berhasil memulihkan kondisi Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.[17] Selain berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun, Kusumadinta III berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh.[18] 
Pengganti Kusumadinata III adalah putranya yang bergelar R.A. Natadikusuma (1801-1806).[19] Natadikusuma menjabat bupati Galuh dalam waktu yang relatif singkat. Ia dianggap menghina pejabat Belanda yang bernama Van Bast, sehingga dipecat dari jabatan bupati.[20] Akibat perbuatannya itu, ia ditahan untuk beberapa waktu di Cirebon tetapi kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Imbanagara. Jabatan bupati Galuh tidak diwariskan kepada putra Natadikusuma, tetapi diserahkan kepada bupati penyelang dari Limbangan, yaitu R.T. Surapraja (1806-1811).[21]
Akibat perbuatan Natadikusuma, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengurangi wilayah kekuasaan Galuh. Banyumas dan Dayeuh Luhur dikeluarkan dari wilayah Galuh. Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang digabungkan ke dalam wilayah kabupaten Sukapura, sedangkan Utama dan Cibatu digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.[22] Bupati Cibatu yang bernama R.T. Jayengpati Kartanagara (1811-1812) diangkat menjadi bupati Galuh, ia dibebankan kewajiban membayar utang kabupaten Galuh sebanyak 23.000 Rds.[23]
Jayengpati memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Imbanagara ke Cibatu. Ia tidak lama menjabat karena pemerintah kolonial menggantinya dengan R.T. Natanagara (1812) dari Cirebon. Natanagara mengusulkan kepada pemerintah kolonial untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Randengan, tetapi usul itu ditolak. Natanagara dipecat karena dianggap tidak mampu mengatasi pemberontakan yang terjadi di Nusa Kambangan. Penggantinya adalah P. Sutawijaya (1812-1815) dari Cirebon.
Sutawijaya didampingi oleh tiga orang patih, yaitu Wiradikusuma, Wiratmaka, dan Jayadikusuma. Pada masa pemerintahannya, daerah Dayeuh Luhur, Madura, dan Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten Banyumas. Imbanagara diserahkan kepada patih Wiradikusuma, Cibatu kepada Jayakusuma, sedangkan Utama kepada Wiratmaka. Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan dari Cibatu ke Burung Diuk untuk memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh Anyar yang dipersiapkan sebagai ibu kota kabupaten yang baru.[24] 
Patih Galuh yang bernama Wiradikusuma (1815-1819) diangkat sebagai bupati Galuh menggantikan Sutawijaya yang kembali ke Cirebon.[25] Meskipun sudah lanjut usia, pemerintah kolonial mempercayainya untuk memimpin kabupaten Galuh. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan dari Cibatu ke Ciamis.[26] Ia mengajukan pensiun kepada pemerintah kolonial yang disetujui pada tahun 1819. Penggantinya adalah putranya yang bergelar R.A. Adikusuma (1819-1939).[27] Pada masa pemerintahannya, kabupaten Kawali dan Panjalu digabungkan ke dalam kabupaten Galuh. Untuk selanjutnya kabupaten Galuh dibagi menjadi 4 distrik, yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.[28] Pada masa pemerintahan Adikusuma, pemerintah kolonial menggulirkan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. Komoditas tanaman perdagangan yang dikenai tanam wajib di Galuh adalah kopi, beras, tebu, dan tarum.
Pengganti Adikusuma adalah putranya yang bergelar R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886).[29] Galuh mengalami perkembangan relatif signifikan di bawah kepemimpinannya, terutama di bidang pendidikan dan pembangunan fisik. Kusumadiningrat memprakarsai pembangunan beberapa saluran irigasi yang sangat berguna bagi pertanian rakyat, yaitu bendungan Nagawangi, Wangundireja, Cikatomas, dan Nagawiru. Ia juga memprakarsai pembangunan 3 buah pabrik minyak kelapa dan sebuah pabrik penggilingan kopi.[30] Ia juga membangun masjid agung Galuh dan gedung-gedung perkantoran di daerah Ciamis. Selain itu, ia juga berhasil meyakinkan pemerintah kolonial untuk mengalihkan jalur kereta api melewati daerah kota Ciamis. Jalur kereta itu terpaksa dibangun di atas jembatan Cirahong agar bisa dialihkan ke kota Ciamis.
Pengganti Kusumadiningrat adalah putranya yang bernama R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Sejak kecil ia sudah dibimbing dan persiapkan oleh ayahnya untuk menjadi penggantinya. Salah satu bentuknya adalah memasukkan Kusumasubrata (juga  saudara-saudaranya) ke sekolah formal selain pesantren.[31] Awalnya Kusumasubrata disekolahkan di Sakola Kabupaten Sumedang yang memiliki guru bahasa Belanda bernama Warnaar.[32] Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena sakit, lalu dibawa pulang ke Galuh dan di sekolahkan di Sakola Kabupaten Galuh. Kusumasubrata melanjutkan sekolahnya, ia didaftarkan ke Kweekschool di Bandung, tetapi tidak diterima.[33] Akhirnya ia sekolah di Hoofdenschool yang baru saja dibuka di Bandung.[34] Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia magang di kabupaten Galuh sebagai juru tulis kabupaten.[35]
Keturunan Kusumasubrata tidak ada yang menjadi bupati Galuh. Meskipun dekat dengan para pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka memihak kepada Belanda. Tidak hanya kepada pejabat Belanda saja mereka memberontak, kepada para ayah angkatnya yang berkebangsaan Belanda pun mereka cenderung memberontak. Putra Kusumasubrata yang bernama R. Otto Gurnita Kusumasubrata menjadi salah satu pendiri Negara Pasundan yang menentang Belanda.
Bupati Galuh berikutnya adalah R.A.A. Sastrawinata (1914-1936). Ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Ciamis pada tahun 1916. Tahun 1926 bersama-sama dengan kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Ciamis dimasukkan ke dalam afdeeling Priangan Timur. Sastrawinata mendapat Bintang Willems Orde karena berhasil menumpas pemberontakan komunis yang dipimpin oleh Egom, Hasan, dan Dirja yang meletus di Ciamis. Ia juga mendapatkan penghargaan Bintang Tanjung dan stempel singa dari pemerintah kolonial atas jasanya membuka rawa-rawa di daerah Cisaga untuk dijadikan area pesawahan.


[1] Nama Sanjaya diidentikan dengan nama penguasa yang disebutkan dalam Prasasti Canggal (723). Keterangan prasasti Canggal saling melengkapi dan menunjang dengan Carita Parahyangan.
[2] Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, sedangkan Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Prabu Maharaja memerintah Galuh hanya 7 tahun sejak 1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan bahwa Prabu Maharaja yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman dengan Hayam Wuruk dari Majapahit.
  
[3] Konon Gajah Mada mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah Bubat sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat yang diajukan oleh Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan apapun. Prabu Maharaja memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan Gajah Mada yang akhirnya menjadi peperangan. Raja dan keluarganya, para pengiring, dan pasukan Galuh gugur dalam pertempuran itu. Calon pengantin putri memutuskan bunuh diri dari pada harus menikah dengan Hayam Wuruk yang dianggap sebagai penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.

[4] Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah 960 cacah. Tidak berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester Ommelanden van Mataram. Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68.

[5] Adipati Kertabumi adalah penguasa kabupaten Bojong Lopang yang dibentuk oleh Mataram tahun 1641 sebagai kelanjutan dari penanganan pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga daerah yang paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.
[6] Berdasarkan keterangan tradisi lisan Galuh, kematian Adipati Imbanagara disebabkan oleh kemarahan Sultan Agung yang mendapat kabar bahwa Adipati Imbanagara telah menodai wanita Galuh yang diminta oleh Sultan Agung. 

[7] Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan raja Mataram.
 
[8] Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.

[9] Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.

[10] Selain bupati, ada beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu, dan kepala cutak. Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC melalui pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).

[11] Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul kapas.

[12] Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.

[13] Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam pengawasan langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 87.

[14] Kusumadinata II memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan sebutan Dalem Kasep yang artinya bupati tampan.

[15] Nama Ciancang diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda kericuhan (nista maja utama).

[16] Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk sebagai calon pengganti Kusumadinata II.
 
[17] Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.

[18] Ia bersahabat dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru agamanya adalah Kyai Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.

[19] Natadikusuma memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati yang sangat dekat dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam menghadapi para pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya yang sering menentang kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak segan-segan melawan pejabat Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak heran jika pemerintah kolonial mengawasinya secara ketat karena tingkah lakunya lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia memiliki 22 orang anak dari 8 orang istri.

[20] Edi S. Ekajati, op.cit, hlm. 81.
 
[21] Sebutan bupati penyelang digunakan untuk mengidentifikasi bupati yang bukan keturunan Galuh.

[22]  Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama kabupaten mengganti Galuh Imbanagara.

[23] Natadikusuma dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia berhutang kepada pemerintah kolonial sebesar 200.000 real yang harus ditanggung oleh bupati berikutnya.
[24] Dayeuh Anyar berarti kota baru, kelak dinamai Ciamis setelah pusat pemerintahan pindah ke kota itu. Nama Ciamis dianggap sebagai penghinaan Sutawijaya kepada Galuh. Dalam bahasa Cirebon, Ciamis artinya air anyir, sedangkan dalam bahasa Sunda Ciamis artinya adalah air manis. Kota Ciamis hingga sekarang tetap menjadi ibu kota kabupaten Ciamis.

[25] Wiradikusuma mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial setelah menjabat bupati Galuh.

[26]  Kabupaten Galuh resmi menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon berdasarkan Besluit no. 23/ 5 Januari 1819.

[27] Pada tahun 1820, Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah kolonial sebesar f. 500 dan bengkok seluas 100 bau.

[28] Kabupaten Galuh dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Kepel (diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa, yang kelak bertambah menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.

[29] Kusumadiningrat yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar minatnya dalam kesenian. Beberapa kesenian rakyat seperti angklung, reog, ronggeng, calung, terbang, rudat, wayang, penca, dan berbagai macam ibing (tarian) berkembang pesat pada masa pemerintahannya. Ia bahkan menciptakan ibing baksa, yaitu ibing nyoderan atau tarian pembuka pada ibing tayub.

[30] Salah satunya adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan pabrik penggilingan kopi didirikan di Kawali.

[31] Semua putra Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang di Sakola Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.

[32] R.A.A. Koesoemasubrata, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek, (Bandung: Mijvorking, 1926), hlm.102.

[33] Tidak ada keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di sekolah itu.

[34] Sikap Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya harus ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.

[35] Para magang harus mempelajari etiket dan gaya hidup menak serta menghayati metode. Mereka tinggal dalam lingkungan keluarga menak dan mengerjakan apa saja tanpa bayaran.

2 komentar: